Senin, 05 Januari 2015

Konflik Agama dan Masyarakat



SEBAB TIMBULNYA KONFLIK MASYARAKAT BERAGAMA 
(Pro-Kontra Konflik Agama dalam Masyarakat)
Sepanjang sejarah agama dapat memberi sumbangsih positif bagi masyarakat dengan memupuk persaudaraan dan semangat kerjasama antar anggota masyarakat. Namun sisi yang lain, agama juga dapat sebagai pemicu konflik antar masyarakat beragama. Ini adalah sisi negatif dari agama dalam mempengaruhi masyarakat. Dan hal ini telah terjadi di beberapa tempat di Indonesia. Agama dewasa ini seolah dan terkesan membuat gentar dan cemas lantaran seringnya tampil dengan wajah yang penuh kekerasan.  Agama tampak kehilangan wajah ramahnya.
Di tengah-tengah pro dan kontra ancaman kelompok agama fundamentalisme di atas, kini muncul pertanyaan, ada apa dengan agama?  Apakah agama memang meligitimasi kekerasan, bahkan teror?  Apakah agama berperan sebagai sumber problem atau sumber solusi? Apakah radikalisme agama merupakan ancaman bagi sebuah bangsa yang majemuk?  Pertanyaan-pertanyaan semacam ini wajar terlontar, mengingat bahwa agama selama ini diklaim pemeluknya sebagai pembawa misi perdamaian dunia.
Penjelasan Awal Kekerasan Bernuansa Agama
Untuk menjelaskan lebih jauh mengapa agama demikian garang dan kejam, tidak dapat serta merta agama dituduh sebagai biang masalah. Jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas bergantung pada bagaimana orang memahami hakikat agama itu sendiri. Agama, dalam kaitan ini, harus dipahami dalam konteks relasinya dengan kehidupan riil manusia. Naif jika agama diposisikan bebas dari segenap kenyataan hidup tersebut.
Agama, dalam konteks di atas merupakan kekuatan penting bagi kehidupan manusia. Karena itulah agama justru harus ditempatkan secara proporsional dalam konteksnya.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa “agama bukan pulau dalam dirinya” . Oleh karena itu, perlu ditegaskan bahwa sekarang agama harus dipahami dan ditafsirkan dalam konteks pluralisme global. Kenyataan plural dunia ini hendaknya dijadikan titik tolak dalam memahami posisi agama dewasa ini.
Adanya berbagai bencana dan tragedi kemanusiaan yang melibatkan agama, seperti dikemukakan di atas, tidak lain adalah akibat terjadinya pembusukan dan pengorupsian agama. 

Ada empat hal pokok sebagai sumber konflik sosial yang bersumber dari agama.
Penulis ingin menyoroti konflik antar kelompok masyarakat Islam - Kristen di Indonesia, dibagi dalam empat hal, yaitu:
A. Perbedaan Doktrin dan Sikap Mental
Semua pihak umat beragama yang sedang terlibat dalam bentrokan masing-masing menyadari bahwa justru perbedaan doktrin itulah yang menjadi penyebab dari benturan itu.
Entah sadar atau tidak, setiap pihak mempunyai gambaran tentang ajaran agamanya, membandingkan dengan ajaran agama lawan, memberikan penilaian atas agama sendiri dan agama lawannya. Dalam skala penilaian yang dibuat (subyektif) nilai tertinggi selalu diberikan kepada agamanya sendiri dan agama sendiri selalu dijadikan kelompok patokan, sedangkan lawan dinilai menurut patokan itu.
Agama Islam dan Kristen di Indonesia, merupakan agama samawi (revealed religion), yang meyakini terbentuk dari wahyu Ilahi karena itu memiliki rasa superior, sebagai agama yang berasal dari Tuhan.
Di beberapa tempat terjadinya kerusuhan kelompok masyarakat Islam dari aliran sunni atau santri. Bagi golongan sunni, memandang Islam dalam keterkaitan dengan keanggotaan dalam umat, dengan demikian Islam adalah juga hukum dan politik di samping agama. Islam sebagai hubungan pribadi lebih dalam artian pemberlakuan hukum dan oleh sebab itu hubungan pribadi itu tidak boleh mengurangi solidaritas umat, sebagai masyarakat terbaik di hadapan Allah. Dan mereka masih berpikir tentang pembentukan negara dan masyarakat Islam di Indonesia. Kelompok ini begitu agresif, kurang toleran dan terkadang fanatik dan malah menganut garis keras.
Karena itu, faktor perbedaan doktrin dan sikap mental dan kelompok masyarakat Islam dan Kristen punya andil sebagai pemicu konflik.
B. Perbedaan Suku dan Ras Pemeluk Agama
Tidak dapat dipungkiri bahwa perbedaan ras dan agama memperlebar jurang permusuhan antar bangsa. Perbedaan suku dan ras ditambah dengan perbedaan agama menjadi penyebab lebih kuat untuk menimbulkan perpecahan antar kelompok dalam masyarakat.
Contoh di wilayah Indonesia, antara Suku Aceh dan Suku Batak di Sumatera Utara. Suku Aceh yang beragama Islam dan Suku Batak yang beragama Kristen, kedua suku itu hampir selalu hidup dalam ketegangan, bahkan dalam konflik fisik (sering terjadi), yang merugikan ketentraman dan keamanan.
Di beberapa tempat yang terjadi kerusuhan seperti: Situbondo, Tasikmalaya, dan Rengasdengklok, massa yang mengamuk adalah penduduk setempat dari Suku Madura di Jawa Timur, dan Suku Sunda di Jawa Barat. Sedangkan yang menjadi korban keganasan massa adalah kelompok pendatang yang umumnya dari Suku non Jawa dan dari Suku Tionghoa. Jadi, nampaknya perbedaan suku dan ras disertai perbedaan agama ikut memicu terjadinya konflik.
C. Perbedaan Tingkat Kebudayaan
Agama sebagai bagian dari budaya bangsa manusia. Kenyataan membuktikan perbedaan budaya berbagai bangsa di dunia tidak sama. Secara sederhana dapat dibedakan dua kategori budaya dalam masyarakat, yakni budaya tradisional dan budaya modern.
Tempat-tempat terjadinya konflik antar kelompok masyarakat agama Islam - Kristen beberapa waktu yang lalu, nampak perbedaan antara dua kelompok yang konflik itu. Kelompok masyarakat setempat memiliki budaya yang sederhana atau tradisional: sedangkan kaum pendatang memiliki budaya yang lebih maju atau modern. Karena itu bentuk rumah gereja lebih berwajah budaya Barat yang mewah.
Perbedaan budaya dalam kelompok masyarakat yang berbeda agama di suatu tempat atau daerah ternyata sebagai faktor pendorong yang ikut mempengaruhi terciptanya konflik antar kelompok agama di Indonesia.
D. Masalah Mayoritas da Minoritas Golongan Agama
Fenomena konflik sosial mempunyai aneka penyebab. Tetapi dalam masyarakat agama pluralitas penyebab terdekat adalah masalah mayoritas dan minoritas golongan agama.
Di berbagai tempat terjadinya konflik, massa yang mengamuk adalah beragama Islam sebagai kelompok mayoritas, sedangkan kelompok yang ditekan dan mengalami kerugian fisik dan mental adalah orang Kristen yang minoritas di Indonesia. Sehingga nampak kelompok Islam yang mayoritas merasa berkuasa atas daerah yang didiami lebih dari kelompok minoritas yakni orang Kristen. Karena itu, di beberapa tempat orang Kristen sebagai kelompok minoritas sering mengalami kerugian fisik, seperti: pengrusakan dan pembakaran gedung-gedung ibadat.
Maraknya aksi-aksi kekerasan dan teror mengatasnamakan jihad pascatumbangnya rezim Orde baru pada 1998 menandai ekspansi dan meningkatnya pengaruh radikalisme Islam dalam lanskap politik Indonesia kontemporer. Dalam konteks ini, dimensi ekonomi politik yang mewarnai pergeseran lanskap geopolitik global dan ketegangan hubungan agama-negara yang terjadi dalam ranah politik domestik selalu menjadi bagian penting yang berperan mendorong pertumbuhan radikalisme.
Kesimpulan
Sebagai penutup dari keseluruhan uraian yang telah dikemukakan di muka maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
  1. Bahwa kasus pelanggaran kebebasan beragama atau berkeyakinan di Indonesia yang paling tinggi adalah pelarangan atau pembatasan aktifitas keagamaan atau kegiatan ibadah kelompok tertentu.
  2. Bahwa interpretasi kitab suci agama dapat menyediakan legitimasi dan berfungsi sebagai sumber daya pembingkaian (framing resource) bagi aktivisme kekerasan.
  3. Bahwa fenomena kekerasan yang bernuansa agama bukan suatu gejala yang sederhana atau yang terpisah dari pergulatan ideologis, teologis dan persoalan tantangan dunia global.
  4. Bahwa untuk memahami radikalisme atau kekerasan atas nama agama menuntut kajian secara menyeluruh dan lintas disiplin.